Pengalaman Saya Sakit Efusi Pleura

Beberapa hari yang lalu saya harus masuk rumah sakit untuk menjalani rawat inap karena penyakit efusi pleura. Dirangkum dari berbagai sumber, efusi pleura adalah suatu penyakit dimana terdapat cairan berlebih di rongga dada, antara paru-paru dan tulang iga. Cairannya tidak di dalam paru-paru.

Seperti kita ketahui, paru-paru terdapat di dalam dada, lebih tepatnya di balik tulang iga. Saat kita bernafas, paru-paru akan mengembang dan menciut, sehingga ada kemungkinan untuk bersenggolan dengan tulang iga dan daging diantara tulang-tulang tersebut. Agar tidak sakit saat bersenggolan, oleh Tuhan YME ditaruhlah semacam cairan sebagai pelumas diantara 2 bagian tubuh tersebut.

Dalam kasus saya, pengidap penyakit efusi pleura, cairan tersebut terlalu banyak dari jumlah yang seharusnya. Sehingga harus dikeluarkan sebagian. Dan untuk mengeluarkannya harus rawat inap di rumah sakit.

Berikut ini adalah pengalaman saya, bagaimana saya bisa didiagnosa memiliki penyakit efusi pleura dan bagaimana saya menjalani pengobatannya.

Semua bermula di malam kamis, 30 Juli 2020. Sampai saat ini saya masih menyesal, kenapa di malam tersebut saya harus begadang dan tidur sampai larut sekali, bahkan sampai tidak mandi. Sehingga keesokan harinya, saya mulai mengalami demam. Awalnya saya mengabaikan demam ini, karena biasanya jika saya demam, cukup makan yang banyak kemudian tidur yang nyenyak demam hilang sendiri.

Saya masih sempat kerja dari rumah (kost) di pagi hari. Sampai akhirnya habis makan siang di hari itu, saya tidak kuat. Kepala jadi pusing, suhu tubuh sayapun terasa sangat tinggi, sayang saya tidak memiliki termometer, sehingga tidak tahu berapa suhu tubuh saya waktu itu. Akhirnya saya ijin tidak masuk kerja di sore hari.

Mulai hari itu sampai beberapa hari kemudian, saya mengalami demam yang cukup hebat, nafsu makan menurun, badan lemas, bahu sebelah kiri dan leher sakit, batuk, dan berkeringat banyak sekali di malam hari. Untungnya hari-hari berikutnya adalah hari libur, hari jumat adalah hari raya idul adha, sedangngkan di hari sabtu dan minggu saya selalu libur. Sehingga bisa istirahat total, tanpa perlu memikirkan pekerjaan.

Anehnya demam ini reda di pagi hari, kemudian menggila lagi mulai habis ashar. Dan saya jadi sesak nafas kemudian batuk-batuk jika tidur telentang atau miring ke kiri, jika tidur miring ke kanan tidak ada masalah. Oleh karena itu pada hari senin 3 Agustus 2020 dan hari-hari berikutnya saya tetap kerja di pagi hari, dan mulai mengurangi aktivitas setelah ashar.

Saya sempat takut terkena Covid-19. Oleh karena itu atas desakan keluarga, saya memeriksakan diri di puskesmas pada hari rabu 5 Agustus 2020. Di puskesmas saya sempat tes darah dan hasilnya bagus. Kemudian dikasih resep, dan diminta kembali lagi jika gejala tidak reda.

Saya sempat kecewa saat di puskesmas. Karena salah satu keluhan saya adalah sesak dan batuk saat tidur telentang atau miring ke kiri, tetapi dokter yang bertugas tidak melakukan cek fisik apapun pada dada atau punggung sebelah kiri saya. Karena saya agak sedikit bungkuk, saya sempat khawatir dengan kondisi tulang belakang dan tulang iga sebelah kiri saya, karena bahu sebelah kiri dan leher saya sempat sakit sekali saat awal demam. Walaupun akhirnya sempat berpikiran positif, mungkin di era pandemi Covid-19 seperti ini dokter perlu mengurangi kontak fisik dengan pasien.

Alhamdulilah, setelah minum obat dari puskesmas, demam saya mulai reda dan nafsu makan mulai normal kembali. Tetapi sesak nafas dan batuknya tidak berkurang, mungkin malah terasa lebih parah. Sekarang tidak hanya sesak nafas dan batuk saat tidur telentang atau miring ke kiri, saya juga sesak nafas dan batuk saat membungkuk, seperti saat rukuk atau sujud dalam sholat, juga saat berjalan agak jauh, naik tangga, dan membawa benda agak berat. Saya mulai khawatir dengan kondisi paru-paru saya.

Oleh karena itu pada saat saya kontrol kedua di puskesmas senin 10 Agustus 2020, saya membuat rencana cadangan. Jika dokter di puskesmas tidak melakukan cek fisik pada dada atau punggung saya, saya akan pergi ke dokter spsialis paru pada hari itu juga. Dan benar saja, dokter puskesmas hanya melakukan wawancara tidak melakukan cek fisik pada dada atau punggung saya. Beliau hanya menggunakan semacam alat untuk dijepitkan pada ujung jari saya, sepertinya untuk melihat kadar oksigen pada darah, dan dikatakan hasilnya bagus.

Akhirnya dokter di puskesmas memutuskan untuk mengganti obat yang sebelumnya diresepkan. Dan meminta saya untuk kembali pada hari jumat 14 Agustus 2020 jika batuk tidak reda untuk melakukan tes dahak, walaupun saya sudah bilang bahwa batuk saya tidak berdahak. Akhirnya saya memilih untuk mengabaikan saran dokter puskesmas ini untuk sementara, dan mulai pergi ke sebuah rumah sakit swasta di Surabaya untuk kontrol ke dokter spesialis paru.

Alhamdulilah, di dokter spesialis paru tersebut akhirnya punggung saya di cek fisik memakai stetoskop sambil menyuruh saya untuk beberapa kali tarik nafas. Akhirnya dokter tersebut memberikan saya resep, meminta saya untuk melakukan rontgen dan test darah, termasuk rapid test untuk Covid-19, dan meminta saya untuk kembali pada hari rabu 12 Agustus 2020 sambil membawa hasil rontgen dan test darah. Pada akhirnya saya lebih percaya pada dokter spesialis paru ini, dan meminum obat dari resepnya mengabaikan obat dari resep dokter di puskesmas.

Rabu 12 Agustus 2020, saya kembali ke dokter spesialis paru tersebut sambil membawa hasil rontgen dan test darah. Hasil test darah dibaca terlebih dahulu, kata dokter tersebut bagus dan saya juga non-reaktif terhadap Covid-19, alhamdulillah. Saat hasil rontgen dibaca, saya didiagnosa terkena efusi pleura dan harus rawat inap kurang lebih 3 sampai 5 hari, hiks..hiks..hiks.

Karena saya anak kost, tinggal sendiri di Surabaya. Tentu bakal merepotkan jika saya harus rawat inap di Surabaya, karena tidak ada yang jaga. Akhirnya saya berdiskusi dengan keluarga saya di bojonegoro untuk mencari rumah sakit yang bisa melakukan perawatan serupa. Pilihan utama adalah rumah sakit di Cepu, Blora Jawa Tengah. Memang saya tinggal di Bojonegoro, tapi Cepu lebih dekat dari tempat tinggal saya daripada kota Bojonegoro, maklum saya tinggal di pojok barat utara kabupaten Bojonegoro, berbatasan dengan kabupaten Blora dan Tuban.

Sayang rumah sakit di Cepu yang saya kontak tidak ada dokter spesialis paru, merekapun menyarankan agar saya berobat di rsud Bojonegoro, jadi tidak ada pilihan lain. Pada kamis sore 13 Agustus 2020 saya pulang ke Bojonegoro, dan keesokan harinya jumat 14 Agustus 2020 saya datang ke poli paru rsud Bojonegoro.

Di poli paru tersebut saya menjelaskan kondisi saya, sambil menyertakan hasil rontgen, hasil test darah dan kartu medis dari rumah sakit di Surabaya. Alhamdulillah, petugas dan dokternya langsung paham dan tidak banyak pertanyaan, maka diputuskan saya mulai rawat inap pada hari itu juga.

Tetapi sebelum rawat inap, dokter paru di rsud Bojonegoro tersebut ingin mengambil sample cairan di rongga dada saya, untuk memastikan keberadaan cairan tersebut. Maka dimintalah saya untuk melepas baju, duduk di atas sebuah bed, tangan kiri memegang telinga sebelah kanan. Kemudian dengan sebuah suntik dokter tersebut menusuk punggung sebelah kiri saya, dan mengambil sedikit cairan dari rongga dada. Setelah jarum suntik dilepas, pada tabungnya terdapat cairan keruh berwarna kuning kepucatan.

Setelah dapat kamar rawat inap, saya langsung diinfus, diberi selang oksigen, dan beberapa suntikan lewat infus. Darah saya juga diambil untuk dites di laboratorium.

Keesokan harinya Sabtu 15 Agustus 2020, dokter yang sama datang ke ruang dimana saya dirawat untuk mengambil cairan dengan jumlah yang lebih banyak. Kali ini tidak dengan suntik, tetapi dengan sebuah botol plastik kempes, yang terdapat selang di ujungnya, di ujung selang ini terdapat jarum suntik juga. Sama dengan pengambilan cairan sebelumnya saya harus melepas baju dan tangan kiri memegang telinga sebelah kanan, kemudian jarum yang terdapat diujung botol plastik tersebut ditusukkan ke punggung sebelah kiri saya. Tetapi untuk mendapatkan cairan yang lebih banyak, dibutuhkan waktu yang lebih lama, oleh karena itu, dokter meminta saya untuk menahan batuk. Jika ingin batuk saya harus memberikan kode dengan tangan kanan, agar jarum segera dilepas, karena jika batuk dalam keaadan jarum masih tertancap bisa melukai paru-paru. Alhamdulillah, saya tidak ada gejala akan batuk sama sekali, tetapi tangan kiri dan punggung saya jadi capek sekali, sehingga perlu ditahan oleh ayah saya.

Proses pengambilan cairan hampir mirip dengan proses donor darah. Hanya sakit saat jarum pertama kali ditusuk ke kulit, sedangkan saat cairan keluar dari rongga dada tidak ada rasa sama sekali. Untungnya saya biasa donor darah, jadi sudah biasa dengan sakitnya jarum menusuk kulit.

Sama dengan saat donor darah, ada sedikit drama saat pengambilan cairan ini. Biasanya saat kita donor darah, setelah jarum ditusuk darah tidak langsung keluar, sehingga petugas perlu menggerakkan jarum ke kiri atau ke kanan agar mendapat posisi yang pas dan darah bisa keluar dengan lancar, dan proses perbaikan posisi jarum ini sedikit sakit, karena jarumnya kadang menyenggol pembuluh darah kita. Atau malah harus ditusuk ulang pada pembuluh darah yang lain. Saat pengambilan cairan ini, cairannya juga tidak mau langsung keluar. Dari obrolan dokter dan pendampingnya, ukuran jarum yang digunakan saat itu adalah ukuran 16. Kemudian mereka memutuskan untuk menggunakan jarum dengan ukuran yang lebih besar, yaitu ukuran 20. Terpaksa saya harus ditusuk untuk kedua kali.

Alhamdulillah, setelah diganti dengan jarum yang lebih besar cairan langsung keluar. Botol plastik yang tadinya kempes, mulai mengembang dan terisi cairan. Kurang lebih 20 menit berlalu, botol yang katanya berukuran 500ml hampir penuh dengan cairan dari rongga dada saya.

Selama rawat inap, cairan hanya diambil sekali di hari sabtu tersebut. Hari-hari berikutnya saya hanya tiduran, makan, suntik lewat infus, dan minum beberapa obat jika waktunya sudah tiba. Waktunya juga tidak tepat, karena minggu berikutnya banyak hari libur, berkenaan dengan hari kemerdekan RI dan tahun baru islam, sehingga dokternya libur dan semakin sedikit hari yang bisa digunakan untuk mengunjungi pasien. Setelah beberapa hari rawat inap saya juga diambil sample darah kedua, dan rotgen.

Dari foto rontgen terakhir terlihat masih ada cairan di rongga dada saya, tetapi kata dokternya tidak apa-apa. Akhirnya saya boleh pulang pada hari Senin 24 Agustus 2020 setelah menjalani 11 hari rawat inap, molor dari prediksi dokter paru di Surabaya yang katanya butuh waktu 3 sampai 5 hari. Mungkin karena banyak hari libur sehingga jadi molor.

Setelah pulang dari rawat inap saya masih batuk tetapi setelah beberapa hari minum obat dan istirahat dirumah, perlahan saya mulai bisa tidur dengan posisi telentang dan miring ke kiri, alhamdulillah. Saya juga mulai bisa membungkuk, rukuk dan sujud dalam sholat, tetapi tidak bisa lama-lama. Karena jika agak lama tetap sesak nafas dan batuk. Jika berjalan agak jauh tetap sesak nafas dan batuk, belum ada perubahan.

Hal aneh lainnya adalah saat saya tarik nafas agak panjang atau menguap agak lama, pada dada sebelah kiri saya seperti ada cairan yang bergerak. Hal ini tidak saya alami sebelum cairan diambil, tetapi perasaan ini perlahan mulai berkurang.

Saat tulisan ini ditulis saya mulai bisa merasakan manfaat dari pengambilan cairan dari rongga dada tersebut, saya harus bersyukur. Tetapi saya masih harus berjuang, karena efusi pleura ini hanyalah penyakit sampingan. Saya masih harus bertarung dengan penyakit utamanya yaitu TB Paru, doakan saya agar bisa menang.

Tulisan Serupa

6 Replies to “Pengalaman Saya Sakit Efusi Pleura”

    1. Kalau yang diambil kedua yang dalam botol itu tidak, karena langsung dibuang di toilet. Tapi kalau yang diambil pertama kali, yang pakai suntik aku tidak tahu.

  1. Mas mau tanya, yg mendiagnosa TB Paru dokter yg merawat mas saat rawat inap? Trus obat apa yg dikonsumsi setelah diperbolehkan pulang? Apa obat tbc yg minimal 6 bulan itu?

    1. seingat saya selama rawat inap hanya diduga tb paru, karena belum tes dahak. hanya fokus mengeluarkan cairan dari rongga dada saja. oleh karena itu setelah pulang dari rawat inap obatnya bukan yang untuk 6 bulan itu. setelah selesai rawat inap saya wajib kontrol ke poli paru, dan tes dahak, setelah hasil tes dahak positif baru dikasih obat yang untuk 6 bulan itu.

    1. bisa, tapi sedikit sekali, coba aja dikeluarkan sebisanya, nanti kalau tidak ada dahaknya, saya kira petugas lab bakal komplain. dulu tes dahak beberapa kali dan tidak pernah dikomplain walaupun dahaknya sedikit.

Leave a Reply