Melanjutkan tulisan saya sebelumnya, hasil tes dahak dapat diketahui sehari setelah saya menyerahkan sampel dahak ke laboratorium di puskesmas, hasilnya alhamdulilah sudah negatif. Juga tidak ada komentar mengenai dahak saya yang sedikit sekali.
Setelah 2 bulan atau 8 minggu melalui pengobatan intensif tb paru, di minggu kesembilan saya memulai fase lanjutan pengobatan tb paru. Di fase lanjutan ini obat yang diberikan sedikit berbeda. Ukuran obatnya sedikit lebih kecil, dan hanya terdiri dari ISONIAZID dan RIFAMPICIN saja, tidak ada lagi PYRAZINAMIDE dan ETHAMBUTOL di dalam komposisi obatnya. Waktu meminum obat ini juga lebih longgar, hanya tiga kali seminggu yaitu di hari senin, rabu, dan jumat masing-masing 4 tablet setiap satu kali minum. Tidak lagi harus minum obat setiap hari seperti pada fase intensif. Bentuk obatnya seperti pada gambar di bawah ini.
Mengenai obat tb paru ini saya menemukan beberapa fakta yang cukup menarik.
Yang pertama, ternyata setiap pasien tb paru di puskesmas sudah memiliki jatah obatnya sendiri. Hal ini saya ketahui setelah saya ganti obat dari fase intensif dengan kemasan merah dengan obat fase lanjutan dengan kemasan kuning seperti pada gambar di atas, pada waktu itu petugas apotek di puskesmas komplain kok jatah obat fase intensif saya masih ada sisa. Beliau mungkin tidak tahu bahwa sebelumnya saya sudah minum obat dari rumah sakit selama sebulan, dan hanya minum obat fase intensif dari puskesmas selama sebulan juga, makanya masih ada sisa obat tb paru fase intensif untuk saya.
Hal ini juga diperkuat saat puskesmas tempat saya berobat harus ditutup sementara karena Covid-19, sementara obat fase lanjutan tb paru saya sudah habis. Terpaksa saya harus periksa ke puskesmas di kecamatan sebelah. Dokter di puskesmas sebelah bilang kepada saya bahwa obat tb paru ini sudah ada jatahnya untuk tiap pasien, beliau tidak bisa memastikan saya bisa memperolah obat yang saya butuhkan atau tidak sebelum berkoordinasi dengan petugas di bagian apotek. Oleh karena itu saya diminta untuk menunggu.
Setelah menunggu beberapa menit akhirnya saya bisa mendapatkan obat tb paru fase lanjutan yang saya butuhkan. Itupun obat dengan masa kadaluwarsa yang tinggal beberapa bulan lagi, jatah dari pasien lain yang katanya telah meninggal dunia (semoga amal ibadahnya diterima dan dosa-dosanya diampuni oleh Tuhan YME).
Fakta yang kedua, ternyata obat tb paru dimana tiap tabletnya terdiri dari beberapa jenis obat hanya tersedia di puskesmas. Obat yang tersedia di apotek umum adalah obat dengan komposisi terpisah, ISONIAZID dan RIFAMPICIN di kemas di kemasan yang berbeda, sama dengan obat dari rumah sakit.
Fakta yang ketiga, ternyata lama pengobatan pasien tb paru tidak ditentukan dari berapa lama ia sudah menjalani pengobatan, tapi dari berapa tablet yang sudah ia minum. Dalam kasus saya, saya harus minum sekitar 90-an tablet, saya lupa kenapa tidak bertanya kepada dokter di puskesmas mengenai 90-an tablet ini, apakah itu jumlah obat fase lanjutan saja atau termasuk fase intensif. Saya juga tidak tahu jumlah obat ini ditentukan berdasarkan usia atau berat badan pasien. Sebenarnya informasi ini di tulis di salah satu dinding di puskemas, tetapi waktu itu saya tidak kepikiran untuk mengambil gambarnya. Maaf.
Di akhir bulan kelima saya harus tes dahak lagi. Alhamdulillah hasilnya juga negatif. Di akhir bulan keenam, setelah total obat yang sudah saya minum mencapai angka 90-an seperti yang saya tulis di atas saya juga harus tes dahak lagi. Ini adalah tes dahak terakhir, dan diwaktu saya menunggu hasilnya saya sudah tidak dikasih obat lagi dan sudah tidak perlu minum obat paru lagi. Hasilnya alhamdulillah juga negatif.
Karena sudah tiga kali tes dahak hasilnya negatif saya dinyatakan sembuh dari tb paru oleh dokter puskesmas. Alhamdulillah.
Ok. Lalu apa yang bisa dipelajari dari pengalaman sakit tb paru ini ?
Saat sakit tb paru, rasa sakitnya paling terasa di awal. Badan panas, batuk, lemas, berkeringat di malam hari, sesak napas, dan yang paling memberatkan menurut saya adalah tidak bisa tidur dengan posisi telentang dan miring ke kiri. Bagian kanan badan terasa sakit karena terlalu lama tidur dengan posisi miring ke kanan, sedangkan kalau tidur dengan posisi lain saya langsung sesak napas dan batuk-batuk.
Tetapi kalau sudah menerima perawatan medis gejala-gejala di atas berangsur-angsur bisa berkurang. Tapi karena lamanya pengobatan dan efek samping obat yang kadang mengganggu, kita harus lebih bersabar.
Saat diminta tes dahak, mungkin anda akan mengalami kesulitan, oleh karena itu sampaikan ke dokter di puskemas. Anda mungkin akan diberi beberapa saran oleh dokter. Menurut pengalaman saya, saya akan diberi obat agar diminum di malam hari, kemudian di pagi hari diminta untuk minum air hangat dan lari-lari kecil, sambil berusaha untuk mengeluarkan dahak.
Semoga tulisan ini berguna bagi anda.
3 Replies to “Fase Lanjutan Pengobatan TB Paru”
Hi. Terima kasih infonya, semoga sehat selalu.
Saya baca sampai habis pengalaman TB paru nya, sangat berguna dan membantu sekali tulisannya karena saya saat ini sedang menjalani pengobatan TB paru juga di puskesmas. Semoga saya juga bisa bertahan menjalani pengobatan seperti ini dan bisa sembuh. Terima kasih infonya dan semoga kita sehat selalu amiiin????????????
Sangat berguna. Saya alami yg sama tidur terlentang atau ke kiri sesak nafas alhirnya tidur miring ke kanan terus.
Saya seminggu minum obat intemsif batuk nya hilang hanya tetap perawatan tuntas sampai 6 bln. Berat badan dr 55 kg turun jd 47 kg dlm waktu 2 minggu. Akhirnya kembali naik 53 kg dlm waktu 1 bulan 2 minggu. Sekarang minum obat lanjutan